Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Buya Syafii Maarif. Bertatap muka, berdiskusi dan bercengkrama dalam satu meja. Itu tidak juga. Saya mengenal beliau melalui tulisan-tulisannya. Baik tulisan berbentuk buku atau opini dan artikel. Di saat saya membaca buku atau opini yang ia tulis. Saya seakan berdialog langsung dengannya.
Dalam membaca buku dan opini karya Buya Syafii Maarif, saya selalu mendapatkan ilmu baru. Terutama berkait dengan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Islam yang ramah, santun, penyebar kebahagiaan, anti terhadap diskriminasi dan ketidakadilan. Buya Syafii Maarif menjelaskan tentang Islam bukan hanya berkait dengan ibadah mahdhah tapi islam lebih menekankan pula terhadap ibadah-ibadah sosial dan kemanusiaan
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Karena itu, Buya Syafii Maarif menjadikan agama sebagai pemersatu dalam menciptakan persatuan dan persaudaraan terhadap sesama anak manusia. Agama tidak diperbolehkan menjadi alat sebagai pemecah belah.
Tahun 2017, Buya Syafii Maarif membela Gubenur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan agama melalui ayat 51 surah Al-maidah. Saat sebagian dari masyarakat Indonesia mengecam Ahok, dan menyeretnya ke ranah hukum. Dengan kasus itu, Ahok di vonis bersalah dan masuk penjara selama 2 tahun.
Buya Syafii Maarif melakukan pembelaan. Dengan lantang ia menyampaikan pendapatnya yaitu tidak setuju kalau Ahok dikatakan bersalah dan apalagi harus di hukum. Ia pun mendapatkan kritikan yang tajam, bahkan pula dari sebagian warga dari organisasi yang pernah di pimpinnya.
Buya sudah tahu akibat yang akan di terima oleh karena pilihan sikapnya. Namun karena itu di pandang tidak adil dan akan membuat anak bangsa terpecah belah, ia pun menerima konsekuensi itu.
Dalam sebuah kesempatan Presiden Indonesia Joko Widodo menuturkan bahwa Buya Syafii Maarif seorang penjaga kebhinekaan. Apa yang di ucapkan dan di lakukan terus seiring dengan Pancasila dan kebhinekaan. Buya Syafii Maarif tidak segan-segan menegur dan mengkritik siapapu itu yang merusak ideologi Pancasila dan Kebhinekaan.
Begitu pula Yenny Wahid puteri sulung KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) menyampaikan bahwa Buya Syafii Maarif seorang pemberani dan tidak pandang bulu dalam memberikan kritikan. Ia tidak segan-segan mengkritik tokoh-tokoh bangsa yang dianggap melakukan prilaku yang kurang baik. Meskipun ia sangat akrab dengan tokoh-tokoh bangsa tersebut.
Disisi lain, Buya Syafii Maarif bersama Gusdur telah menjadikan organisasi NU dan Muhammadiyah lebih akrab. Saat itu Gusdur sebagai presiden dan Buya menjabat ketua Umum Muhammadiyah. Menurut Yenny sebelumnya dua organisasi ini sering tidak ketemu karena perbedaan-perbedaan yang dialaminya.
Buya Syafii Maarif juga sangat mengayomi terhadap mahasiswa, pemuda. Ia tidak menjaga jarak dengan siapapun. Dan bahkan selalu memenuhi keinginan dari para murid-muridnya yang ingin makan bareng bersamanya.
Jum'at 27, 05, 22. Buya Syafii Maarif meninggalkan kita selama-lamanya. Allah lebih sayang kepadanya. Selamat jalan Buya...Alfatihah.
*Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research